Senin, 02 Januari 2012

Sederhana

Sederhana itu keindahan, kata yang kudapat dari seseorang yang memilih jalan tersebut. Dia begitu jelas mencontohkan bagaimana sederhana itu dibangun bukan ditumbangkan. Sederhana bukan dia cari tapi memang dia jalani. Baginya kehidupan pada poros tengah. Sekali kita bergeser maka yang lain akan susah mendapat tempat. Mobil mewah, rumah mewah, perhiasan mewah, tanah yang luas dia tolak dan lebih membelanjakannya untuk orang lain sebagai bentuk sedekah dirinya. Takjubku tidak hanya sampai disini, bagi dia kaya itu harus tapi sederhana adalah jalan yang harus diambil. Kenapa seseorang bisa tewas dirampok, dibunuh di dalam mobil dan dikejahatan kriminal yang lainnya adalah akibat dia memilih jalan mewah. Orang lain dalam konteks agregat merasa iri dengan kemewahan yang didapat dari individu tersebut. Makin semangat orang tersebut bercerita dan aku menatap penuh yakin. Dia mengatakan “Islam lebih manusiawi bicara harta, Rosul Muhammad itu kaya tapi memilih sederhana bahkan dekat dengan orang miskin. Bukan karena dia tidak punya tapi karena itu pilihan beliau. Pernah suatu kali Rosul tergesa pulang dari sholat hanya karena teringat emas yang belum disedekahkan.” Aku semakin mengangguk-angguk tanda setuju.
 Sederhana, padanya kita menemukan penolakan terhadap segala bentuk kerakusan. Sederhana itu kesatria, ditengah nafsu diri ingin memiliki dia rela berbagi dengan himpitan hedonisme yang menyerang. Sederhana juga pilihan cerdas, dia tidak akan memaksa yang lain untuk miskin atau memaksa yang lain untuk kaya. Sederhana merupakan kearifan, darinya kemudian muncul alasan filantropi,give and give, sedekah, zakat, infaq dan segudang kata untuk berbagi. Sederhana bagaikan bagaikan kumbang yang menghisap sari bunga dia tidak merusak namun mampu menghasilkan madu. Sederhana juga seperti burung dia bertawakal berangkat pagi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang. Tidak lupa pula burung itu memberi makan anaknya. Sederhana juga seperti Unta dia minum dan menjaganya untuk bertahan sebagai bekal perjalanan jauh. Sederhana adalah bentuk filosofis pilihan dari seluruh bentuk penolokan terhadap monopoli.
Sederhana itu kesetian jalan panjang, ia tidak berubah walau status telah merubah keadaannya. Sederhana tetap menyapa kawan lama, tetap berpacu pada janji, tetap melakukan pelayanan, tetap bercengkerama dengan lingkup sosial. Sederhana yang kuserap ini hadir dari seorang pengajar di UGM sebagai orang kaya yang sederhana . ketika diberi amanah mengelola Proyek dan program UGM yang bernilai milyaran telah dibuktikannya bersih dari mark-up anggaran. Bahkan kerja-kerja cerdas tentang Good Government Governance (GCG), Good Corporate Governance (GCG), Publik service Obligation (PSO), Publik Private Patnership (PPPs) mampu beliau buktikan dalam berteori dan berpraksis.
Di akhir tahun menjelang pergantian tahun 2012, ditengah macetnya Jogja, kebisingannya, kesibukannya dan kondisi kota 24 jam membuatku penat. Aku berinisiatif unutk berkunjung ke daerah Godean yang lebih hening. Aku memiliki saudara yang hidupnya sangat sederhana disana. Untuk melepas penatku aku kesana sebagaimana seorang anak menjenguk orang tua. Namannya Pak Bandi, Orang tua yang selalu memberi petuah kepada siapapun yang ingin menyerap segudang ide persoalan. Ya sekali lagi aku ingin mengatakan segudang kata kesederhanaan. Istrinya Bu Tugiyanti adalah teman lama bapak mengajar di SD N 2 Kotagajah di Lampung. Namun meminta pensiun dini pindah ke Jogja karena semua keluarga fokus pada usaha Penerbitan buku. Pak Bandi memiliki 4 Anak yang menguasai bisnis percetakan buku di Jogja dibawah naungan Media Presindo. Beberapa percetakan dibawahnya dibuka di Jogja dan di Jakarta. Dari Media Presindo Jogja sendiri ada 300 karyawan. Dari 4 anaknya laki-laki Indra Setiawan, Indra Gunawan, Indra Ismawan, dan Indra Dharmawan kejeniusan usaha dibangun sangat sukses. Maka wajar jika total karyawan yang meliputi Jakarta dan Jogja 1200 orang baik kontrak dan lepas.
Orang mungkin tidak menyangka dibalik kesederhanaan Pak Bandi yang sangat sederhana tinggal di rumah di Godean yang jauh dari keramaian, ada usaha yang begitu besar dia persembahkan untuk masyarakat. Gudang kertas, Usaha Mobil, Penerbitan yang menargetkan minimal 1 hari 1 buku. Saya kemudian membayangkan ternyata ada 1000 orang yang hidup makan dari usaha ini jika 300 karyawan memiliki anak dan istri. Lagi-lagi beliau berbicara penolakan terhadap fanatik agama. “Tuhan menciptakan kita berbeda bukan untuk bertengkar, kita disuruh mengurus bumi ini secara baik”. Ungkapnya. Bagi Pak Bandi kaya itu harus tapi sederhana itu adalah sikap keharusan. Kata “Tilar Dunyo” itu mengmbarkan orang yang meninggal dunia dalam keadaan meninggalkan apapun untuk generasi selanjutnya. “Tilar Dunyo” adalah bentuk pengorbanan seseorang dan menolak untuk mengganggap remeh harta kekayaan. Harta kekayaan memang tidak dibawa mati tapi pasti jika kita tinggalkan dalam keadaan banyak akan bermanfaat untuk anak cucu kita. Maka falsafah jawa jika meninggal tanpa meninggalkan apapun itu disebut “Modar”.
Keserhanaan itu adalah tabiat nurani kemanusiaan, dia tidak ingin menjadi pemangsa bagi orang lain. Hadirnya murni untuk saling membantu, memberi manfaat. Kekayaan baginya adalah amanah, kelebihan ilmu bagi para penganut mahzab sederhana adalah responsibility dari kemudahan Tuhan memberikan rezeki. Ternya sederhana itu bukan karena kondisi miskin tapi sederhana itu memang melekat bagi orang yang Kaya, Pemimpin, Pejabat yang tidak mau menampakkan kekayaan tapi menampilkan kondisi pribadi tanpa kemewahan dan tanpa kepura-puraan.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...